Dalam rangka mewujudkan sistem lembaga keuangan atau perbankan yang sehat, bank sentral atau otoritas moneter menggunakan suatu perangkat kebijakan moneter seperti pengendalian tingkat bunga, pembatasan ekspansi kredit, penentuan rasio likuiditas atau cadangan minimum (reserve requirement), penentuan bunga rediskonto, operasi pasar terbuka, currency swap dan sebagainya.
Dengan berkembangnya lembaga-lembaga keuangan islami dalam tiga dasa warsa terakhir, maka bank sentral atau otoritas moneter di berbagai negara yang berpenduduk mayoritas muslim harus pula memantau dan mengendalikan perkembangan lembaga-lembaga keuangan baru ini. Untuk melaksanakan fungsi pemantauan dan pengendalian itu maka otoritas moneter juga harus membangun seperangkat kebijakan dan instrumen moneter yang sesuai dengan prinsip-prinsip yang dianut oleh lembaga-lembaga keuangan dan perbankan islami. Sebagian negara muslim melakukan konversi mekanisme moneter dan perbankan yang ada ke dalam sistem islami, seperti Iran dan Pakistan, dan sebagian negara muslim lainnya, seperti Indonesia, mengakomodasian perkembangan tersebut melalui “dual banking system”, dimana perbankan islami dapat beroperasi berdampingan dengan perbankan konvensional .
Krisis ekonomi dan moneter yang terjadi di Indonesia pada kurun waktu 1997-1998 merupakan suatu pukulan yang sangat berat bagi sistem perekonomian Indonesia. Dalam periode tersebut, banyak lembaga-lembaga keuangan,termasuk perbankan, mengalami kesulitan keuangan. Tingginya tingkat suku bunga telah mengakibatkan tingginya biaya modal bagi sektor usaha yang pada akhirnya mengakibatkan merosotnya kemampuan usaha sektor produksi. Sebagai akibatnya kualitas aset perbankan turun secara drastis sementara sistem perbankan diwajibkan untuk terus memberikan imbalan kepada depositor sesuai dengan tingkat suku bunga pasar. Rendahnya kemampuan daya saing usaha pada sektor produksi telah pula menyebabkan berkurangnya peran sistem perbankan secara umum untuk menjalankan fungsinya sebagai intermediator kegiatan investasi.
Pengalaman historis tersebut telah memberikan harapan kepada masyarakat akan hadirnya sistem perbankan alternatif yang memenuhi selain memenuhi harapan masyarakat dalam aspek syariah juga dapat memberikan manfaat yang luas dalam kegiatan perekonomian.
Setelah dikeluarkannya UU No.10 Tahun 1998 yang pada intinya memberikan kewenangan dan pengawasan perbankan ke Bank Indonesia dan sekaligus diperkenalkan landasan hukum bank syariah. Selanjutnya dengan diberlakukannya UU No.23 Tahun 1999 Bank Indonesia dapat menerapkan kebijakan moneter berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Setelah diberlakukannya UU tersebut perbankan nasional mulai menerapkan sistem perbankan berganda atau dual banking system yang menuntut pengawasan yang lebih baik untuk menghindari terjadinya krisis perbankan ke dua. Dual banking system yaitu adanya sistem perbankan konvensional dan syariah yang berlangsung dalam suatu negara dalam penerapannya harus berlandaskan pada karakteristik dari masing-masing sistem.
Dibandingkan dengan negara-negara lain seperti kawasan Timur Tengah dan Malaysia, perbankan syariah di Indonesia masih dalam tahap pengembangan awal. Keberadaan bank syariah dalam sistem perbankan Indonesia, baru dikembangkan sejak tahun 1992, sejalan dengan diberlakukannya Undang-undang No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan serta pendirian PT Bank Muamalat Indonesia [BMI] yang diikuti oleh pendirian beberapa BPR syariah [BPRS]. Namun perkembangan bank syariah dalam tahun-tahun berikutnya berjalan sangat lambat dikaitkan dengan potensi pasar yang sangat besar bagi kegiatan usaha bank syariah mengingat jumlah penduduk muslim di Indonesia yang dominan. Walaupun perkembangan perbankan syariah dalam kancah nasional masih kecil, tetapi telah menunjukkan perkembangan hampir dua kali lebih besar dibandingkan pertumbuhan pada periode sebelum diberlakukannya Undang-undang No.10 Tahun 1998. Peranan perbankan syariah dalam mobilisasi dana dan penyaluran pembiayaan walaupun masih kecil, namun mengalami peningkatan yaitu masing-masing dari 0.05% dan 0.08% pada tahun 1998 menjadi 0.07% dan 0.17% pada tahun 1999.
Peningkatan peran perbankan syariah dalam penyaluran pembiayaan yang sedemikian rupa, disebabkan terutama adanya peningkatan volume penyaluran pembiayaan dari Rp.445 milyar pada tahun 1998 menjadi Rp. 472 milyar pada tahun 1999 dan pada saat yang bersamaan penyaluran kredit oleh perbankan konvensional menurun dari Rp. 545 trilyun menjadi Rp. 227 trilyun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar